BAGIAN
I
LATAR
BELAKANG
Pembangunan ekonomi kerakyatan usaha menengah mempunyai perananan yang penting dan strategis untuk mewujudkan struktur dunia usaha nasional yang kokoh. Untuk mewujudkan
struktur
dunia
usaha
nasional yang
kokoh
maka usaha menengah perlu ditingkatkan jumlahnya dan diberdayakan menjadi usaha yang tangguh, mandiri dan unggul, sehingga
peranannya dalam penyerapan tenaga kerja, ekspor dan pembentukan produk domestik bruto semakin
meningkat;
UKM
memiliki potensi besar, ditunjukkan dengan kemampuannya
bertahan dalam menghadapi badai krisis keuangan dan ekonomi
yang menimpa Indonesia sejak
medio tahun 1997. Hal ini juga membuktikan
bahwa UKM merupakan salah satu
pelaku ekonomi
yang kuat dan ulet. Meskipun demikian UKM tidak terlepas dari dampak gejolak pasar dan keambrukan system
perbankan nasional. Diperkirakan
di masa depan UKM akan cukup berhasil
menyesuaikan
diri dengan lingkungan
ekonomi yang cepat berubah dan
dapat meningkatkan posisi
daya saing bukan hanya dalam pasar
lokal tetapi juga dalam mendorong aktivitas ekspor yang pada akhirnya akan lebih mendorong
pengembangan perekonomian daerah. Pemulihan ekonomi dalam perekonomian
daerah akan lebih cepat tercapai apabila peran UKM dapat lebih ditingkatkan
dan berbagai kendala internal yang
melilit UKM seperti perkreditan dan permodalan dapat dicarikan
solusi yang pas dan akurat.
Perkreditan dan permodalan bagi pengembangan UKM sering menjadi kendala,
karena UKM sangat terbatas kemampuannya untuk mengakseskan terhadap
lembaga perkreditan atau perbankan. Realitas menunjukkan bahwa UKM pada umumnya
mengalami masalah dalam memenuhi berbagai persyaratan untuk mendapatkan
kredit yang biasanya diukur dengan 5C, yaitu : character, capacity, capital, collateral, dan condition. Dari persyaratan 5C tersebut ada 2C yang sulit dipenuhi yaitu capital dan collaterall. Capital berkaitan dengan persyaratan
untuk memenuhi capital adequacy ratio (CAR) bagi para peminjam. Kesulitan
ini terutama sering dihadapi oleh para pemodal kecil. Sedangkan
collateral berkaitan dengan penyediaan jaminan atau agunan tambahan bagi peminjam.
Dalam rangka pemberdayaan koperasi dan
UKM, pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan yang dituangkan ke dalam 17 skim kredit dengan
persyaratan lunak. Dengan
skim tersebut, maka tahun 1997/1998,
telah dialokasikan dana sebesar Rp. 1,0 trilyun.
Kemudian pada tahun 1998/1999
alokasi dana untuk koperasi dan UKM meningkat
empat belas kali dari tahun sebelumnya dengan nilai Rp. 14,4 trilyun.
Dalam pelaksanaannya, ternyata belum dapat berjalan secara
optimal. Fenomena ini diduga terjadi karena penyelenggaraan kredit menghadapi banyak kesulitan, baik dalam penyaluran
maupun dalam pengembalian pinjamannya.
Selanjutnya data dari Asian Development Bank tahun 2001 menunjukkan bahwa
perolehan kredit bagi UKM dari lembaga perkreditan seperti perbankan adalah
sebagai berikut :
a). UKM yang pernah
memperoleh kredit dari bank hanya sebesar 21%,
b). UKM yang telah mengajukan kredit tetapi belum memperoleh
kredit sebesar 14%,
c).UKM yang sangat membutuhkan kredit tetapi belum mengajukan
kredit sebesar 33% dan
d).
sisanya sebesar 32% belum memerlukan kredit.
Disebabkan besarnya potensi Usaha menengah dalam percaturan
global umumnya dan dalam ekonomi Indonesia pada umumnya, maka penting bagi kita
untuk memahami lebih jauh tentang masalah ini. Dan selanjutnya mencari solusi
tepat untuk semua permasalah itu.
BAGIAN II
TINJAUAN PUSTAKA
Sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM) :
Usaha
Menengah
adalah usaha
ekonomi
produktif
yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang
perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai,
atau
menjadi bagian baik langsung maupun
tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan
jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini.
Usaha
menengah merupakan usaha yang berpenghasilan bersih di atas 500 juta sampai 10
milyar.
Usaha
Menengah sebagaimana dimaksud Inpres No.10 tahun 1998 adalah usaha bersifat
produktif yang memenuhi kriteria kekayaan usaha bersih lebih besar dari
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak sebesar
Rp10.000.000.000,00, (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha serta dapat menerima kredit dari bank sebesar Rp.500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) s/d Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Usaha Kecil dan Menengah disingkat UKM adalah sebuah istilah yang mengacu
ke jenis usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000
tidak termasuk tanah
dan bangunan tempat usaha. Dan usaha yang berdiri sendiri. Menurut Keputusan
Presiden RI no. 99 tahun 1998 pengertian Usaha Kecil adalah: “Kegiatan ekonomi
rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara mayoritas merupakan
kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha
yang tidak sehat.”
Kriteria
usaha kecil menurut UU No. 9 tahun 1995 adalah sebagai berikut:
1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- (Dua Ratus
Juta Rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha
2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-
(Satu Miliar Rupiah)
3. Milik Warga Negara Indonesia
4. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang tidak dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun
tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar
5. Berbentuk usaha orang perorangan , badan usaha yang tidak berbadan
hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.
Di Indonesia,
jumlah UKM hingga 2005 mencapai 42,4 juta unit lebih.
Pemerintah
Indonesia, membina UKM melalui Dinas Koperasi dan UKM, di masing-masing
Provinsi atau Kabupaten/Kota.
Usaha Menengah sebagaimana dimaksud Inpres No.10 tahun 1998
adalah usaha bersifat produktif yang memenuhi kriteria kekayaan usaha bersih
lebih besar dari Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan paling
banyak sebesar Rp10.000.000.000,00, (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha serta dapat menerima kredit dari bank sebesar
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) s/d Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah).
Ciri-ciri usaha menengah:
- Pada umumnya telah memiliki manajemen dan organisasi yang lebih baik, lebih teratur bahkan lebih modern, dengan pembagian tugas yang jelas antara lain, bagian keuangan, bagian pemasaran dan bagian produksi;
- Telah melakukan manajemen keuangan dengan menerapkan sistem akuntansi dengan teratur, sehingga memudahkan untuk auditing dan penilaian atau pemeriksaan termasuk oleh perbankan;
- Telah melakukan aturan atau pengelolaan dan organisasi perburuhan, telah ada Jamsostek, pemeliharaan kesehatan dll;
- Sudah memiliki segala persyaratan legalitas antara lain izin tetangga, izin usaha, izin tempat, NPWP, upaya pengelolaan lingkungan dll;
- Sudah akses kepada sumber-sumber pendanaan perbankan;
- Pada umumnya telah memiliki sumber daya manusia yang terlatih dan terdidik.
Contoh usaha menengah:
Jenis atau macam usaha menengah hampir menggarap komoditi
dari hampir seluruh sektor mungkin hampir secara merata, yaitu:
- Usaha pertanian, perternakan, perkebunan, kehutanan skala menengah;
- Usaha perdagangan (grosir) termasuk expor dan impor;
- Usaha jasa EMKL (Ekspedisi Muatan Kapal Laut), garment dan jasa transportasi taxi dan bus antar proponsi;
- Usaha industri makanan dan minuman, elektronik dan logam;
- Usaha pertambangan batu gunung untuk kontruksi dan marmer buatan.
Konsep Usaha Kecil itu
sendiri sesungguhnya, dari 48,9 juta usaha kecil di Indonesia, hanya 1
juta unit lebih yang benar-benar dapat
di sebut sebagai pengusaha kecil. Koperasi pun hanya 80 ribu lebih, lebih dari
47,50 juta pengusaha sesungguhnya dikategorikan sebagai usaha mikro. Dengan
demikian, bila kita berbicara tentang UMKM perlu di ingat bahwa sebetulnya
kebanyakan usaha yang kita bahas itu bersifat sangat kecil. Sampai saat ini masih terdapat perbedaan
mengenai kriteria pengusaha kecil baik yang ada dikalangan perbankan, lembaga
terkait, biro statistik (BPS), maupun
menurut kamar dagang dan industri Indonesia (KADIN). Perbedaan kriteria
tersebut adalah Bank Indonesia. Suatu
perusahaan atau perorangan yang mempunyai total assets maksimal Rp. 600 juta
tidak termasuk rumah dan tanah yang ditempati. Untuk Departemen
Perindustrian kriteria usaha kecil sama dengan Bank Indonesia. Biro Pusat
Statistik (BPS); Usaha rumah tangga mempunyai : 1-5 tenaga kerja, Usaha kecil
mempunyai : 6-19 tenaga kerja, Usaha menengah mempunyai : 20-99 tenaga kerja. Kamar Dagang Industri Indonesia (KADIN); Industri yang
mempunyai total assets maksimal Rp.600 juta termasuk rumah dan tanah yang
ditempati dengan jumlah tenaga kerja dibawah 250 orang. Departemen Keuangan;
Suatu badan usaha atau perorangan yang
mempunyai assets setinggi-tingginya Rp. 300 juta atau yang mempunyai omset
penjualannya maksimal Rp. 300 juta per tahun.
Sebagai permbandingan dikemukakan pula beberapa kriteria usaha kecil
beberapa Negara berkembang seperti India, Thailand dan Philipina. India, Industri yang memiliki pabrik dan mesin-mesin
beserta perlengkapannya dengan fixed assets maksimal Rupe 2.500.000 atau
sekitar Rp. 496,4 juta. Thailand Industri yang memiliki fixed assets maksimal
Bath 2.000.000 atau sekitar Rp. 438,1
juta. Philipina Usaha rumah tangga industri adalah yang nilai fixed
assets kurang dari Pesos 100.000 atau sekitar Rp. 16 juta. Small industry adalah yang nilai fixed
assetsnya antara Pesos 100.000 s/d 1.000.000 atau sekitar Rp. 160,8 juta.
Usaha berskala
mikro, kecil dan menengah dalam arti yang sempit seringkali dipahami
sebagai suatu kegiatan usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja dan atau assets
yang relatif kecil. Bila hanya komponen ini dijadikan sebagai patokan dalam
menentukan besar kecilnya skala usaha maka banyak bias yang terjadi, sebagai contoh
sebuah perusahaan yang memperkejakan 50 orang karyawan di Amerika Serikat di
kategorikan sebagai perusahaa kecil (relatif terhadap ukuran ekonomi Amerika
Serikat). Sementara itu untuk ukuran yang sama, sebuah perusahaan di Bolivia
tidak lagi masuk dalam kategori usaha kecil. Dengan demikian, diperlukan
komponen atau karakteristik lain dalam melakukan penilaian ukuran usaha,
misalnya dengan melihat tingkat informalitas usaha dengan berdasarkan kepada
dokumen-dokumen usaha yang dimiliki, tingkat kerumitan teknologi yang
digunakan, padat karya dan lain sebagainya.
Perbedaan beberapa kriteria tersebut dapat
dimengerti karena alasan kepentingan
pembinaan yang spesifik dari masing-masing sektor/kegiatan yang bersangkutan.
Namun disadari pula bahwa dalam beberapa hal perbedaan tersebut dapat
menimbulkan kesulitan bagi suatu lembaga peneliti terutama dalam pengambilan
sample penelitian, sehingga hasilnya dapat menimbulkan persepsi berbeda.
Sehubungan dengan kesulitan yang ditimbulkan di
atas, maka sejak tahun 1995 telah diadakan kesepakatan bersama antar instansi
BUMN dan perbankan untuk menciptakan
suatu kriteria usaha kecil, yaitu suatu
badan atau perorangan yang mempunyai total
assets maksimal Rp. 600 juta
tidak termasuk rumah dan tanah yang ditempati.
BAGIAN III
PEMBAHASAN
Usaha
Kecil dan Menengah (UKM) mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan
ekonomi nasional, oleh karena selain berperan dalam pertumbuhan ekonomi dan
penyerapan tenaga kerja juga berperan dalam pendistribusian hasil-hasil pembangunan.
Dalam krisis ekonomi yang terjadi di negara kita sejak beberapa waktu yang
lalu, dimana banyak usaha berskala besar yang mengalami stagnasi bahkan
berhenti aktifitasnya, sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) terbukti lebih
tangguh dalam menghadapi krisis tersebut. Mengingat pengalaman yang telah
dihadapi oleh Indonesia selama krisis, kiranya tidak berlebihan apabila
pengembangan sektor swasta difokuskan pada UKM, terlebih lagi unit usaha ini
seringkali terabaikan hanya karena hasil produksinya dalam skala kecil dan
belum mampu bersaing dengan unit usaha lainnya.
Pengembangan
UKM perlu mendapatkan perhatian yang besar baik dari pemerintah maupun
masyarakat agar dapat berkembang lebih kompetitif bersama pelaku ekonomi
lainnya. Kebijakan pemerintah ke depan perlu diupayakan lebih kondusif bagi
tumbuh dan berkembangnya UKM. Pemerintah perlu meningkatkan perannya dalam
memberdayakan UKM disamping mengembangkan kemitraan usaha yang saling
menguntungkan antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil, dan meningkatkan
kualitas Sumber Daya Manusianya.
Kondisi UKM di Indonesia Saat Ini
Sektor
ekonomi UKM yang memiliki proporsi unit usaha terbesar berdasarkan statistik
UKM tahun 2004-2005 adalah sector:
(1)
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan;
(2)
Perdagangan, Hotel dan Restoran;
(3)
Industri Pengolahan;
(4)
Pengangkutan dan Komunikasi; serta
(5)
Jasa - Jasa.
Sedangkan
sektor ekonomi yang memiliki proporsi unit usaha terkecil secara berturut-turut
adalah sector:
(1)
Pertambangan dan Penggalian;
(2)
Bangunan;
(3)
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; serta
(4) Listrik, Gas dan Air Bersih. Secara
kuantitas, UKM memang unggul, hal ini didasarkan pada fakta bahwa sebagian
besar usaha di Indonesia (lebih dari 99 %) berbentuk usaha skala kecil dan
menengah (UKM). Namun secara jumlah omset dan aset, apabila keseluruhan omset
dan aset UKM di Indonesia digabungkan, belum tentu jumlahnya dapat menyaingi
satu perusahaan berskala nasional.
Data-data
tersebut menunjukkan bahwa UKM berada di sebagian besar sektor usaha yang ada
di Indonesia. Apabila mau dicermati lebih jauh, pengembangan sektor swasta,
khususnya UKM, perlu untuk dilakukan mengingat sektor ini memiliki potensi
untuk menjaga kestabilan perekonomian, peningkatan tenaga kerja, meningkatkan
PDB, mengembangkan dunia usaha, dan penambahan APBN dan APBD melalui
perpajakan.
Pengembangan Sektor UKM
Pengembangan
terhadap sektor swasta merupakan suatu hal yang tidak diragukan lagi perlu
untuk dilakukan. UKM memiliki peran penting dalam pengembangan usaha di
Indonesia. UKM juga merupakan cikal bakal dari tumbuhnya usaha besar. “Hampir
semua usaha besar berawal dari UKM. Usaha kecil menengah (UKM) harus terus
ditingkatkan (up grade) dan aktif agar dapat maju dan bersaing dengan
perusahaan besar. Jika tidak, UKM di Indonesia yang merupakan jantung
perekonomian Indonesia tidak akan bisa maju dan berkembang.
Satu
hal yang perlu diingat dalam pengembangan UKM adalah bahwa langkah ini tidak
semata-mata merupakan langkah yang harus diambil oleh Pemerintah dan hanya
menjadi tanggung jawab Pemerintah. Pihak UKM sendiri sebagai pihak yang
dikembangkan, dapat mengayunkan langkah bersama-sama dengan Pemerintah. Selain
Pemerintah dan UKM, peran dari sektor Perbankan juga sangat penting terkait
dengan segala hal mengenai pendanaan, terutama dari sisi pemberian pinjaman
atau penetapan kebijakan perbankan. Lebih jauh lagi, terkait dengan
ketersediaan dana atau modal, peran dari para investor baik itu dari dalam
maupun luar negeri, tidak dapat pula kita kesampingkan.
Pemerintah
pada intinya memiliki kewajiban untuk turut memecahkan tiga hal masalah klasik
yang kerap kali menerpa UKM, yakni akses pasar, modal, dan teknologi yang
selama ini kerap menjadi pembicaraan di seminar atau konferensi. Secara
keseluruhan, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan
pengembangan terhadap unit usaha UKM, antara lain kondisi kerja, promosi usaha
baru, akses informasi, akses pembiayaan, akses pasar, peningkatan kualitas
produk dan SDM, ketersediaan layanan pengembangan usaha, pengembangan cluster,
jaringan bisnis, dan kompetisi.
Perlu
disadari, UKM berada dalam suatu lingkungan yang kompleks dan dinamis. Jadi,
upaya mengembangkan UKM tidak banyak berarti bila tidak mempertimbangkan
pembangunan (khususnya ekonomi) lebih luas. Konsep pembangunan yang
dilaksanakan akan membentuk ‘aturan main’ bagi pelaku usaha (termasuk UKM)
sehingga upaya pengembangan UKM tidak hanya bisa dilaksanakan secara parsial,
melainkan harus terintegrasi dengan pembangunan ekonomi nasional dan
dilaksanakan secara berkesinambungan. Kebijakan ekonomi (terutama pengembangan
dunia usaha) yang ditempuh selama ini belum menjadikan ikatan kuat bagi
terciptanya keterkaitan antara usaha besar dan UKM.
Saat
ini, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah berencana untuk menciptakan
20 juta usaha kecil menengah baru tahun 2020. Tahun 2020 adalah masa yang
menjanjikan begitu banyak peluang karena di tahun tersebut akan terwujud apa
yang dimimpikan para pemimpin ASEAN yang tertuang dalam Bali Concord II. Suatu
komunitas ekonomi ASEAN, yang peredaran produk-produk barang dan jasanya tidak
lagi dibatasi batas negara, akan terwujud. Kondisi ini membawa sisi positif
sekaligus negatif bagi UKM. Menjadi positif apabila produk dan jasa UKM mampu
bersaing dengan produk dan jasa dari negara-negara ASEAN lainnya, namun akan
menjadi negatif apabila sebaliknya. Untuk itu, kiranya penting bila pemerintah
mendesain program yang jelas dan tepat sasaran serta mencanangkan penciptaan 20
juta UKM sebagai program nasional.
Permasalahan yang Dihadapi UKM
Pada
umumnya, permasalahan yang dihadapi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM), antara
lain meliputi:
A. Faktor Internal
1.
Kurangnya Permodalan dan Terbatasnya
Akses Pembiayaan
Permodalan
merupakan faktor utama yang diperlukan untuk mengembangkan suatu unit usaha.
Kurangnya permodalan UKM, oleh karena pada umumnya usaha kecil dan menengah
merupakan usaha perorangan atau perusahaan yang sifatnya tertutup, yang
mengandalkan modal dari si pemilik yang jumlahnya sangat terbatas, sedangkan
modal pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya sulit diperoleh karena
persyaratan secara administratif dan teknis yang diminta oleh bank tidak dapat
dipenuhi. Persyaratan yang menjadi hambatan terbesar bagi UKM adalah adanya
ketentuan mengenai agunan karena tidak semua UKM memiliki harta yang memadai
dan cukup untuk dijadikan agunan.
Terkait
dengan hal ini, UKM juga menjumpai kesulitan dalam hal akses terhadap sumber
pembiayaan. Selama ini yang cukup familiar dengan mereka adalah mekanisme
pembiayaan yang disediakan oleh bank dimana disyaratkan adanya agunan. Terhadap
akses pembiayaan lainnya seperti investasi, sebagian besar dari mereka belum
memiliki akses untuk itu. Dari sisi investasi sendiri, masih terdapat beberapa
hal yang perlu diperhatikan apabila memang gerbang investasi hendak dibuka
untuk UKM, antara lain kebijakan, jangka waktu, pajak, peraturan, perlakuan,
hak atas tanah, infrastruktur, dan iklim usaha.
2. Kualitas Sumber Daya Manusia
(SDM)
Sebagian
besar usaha kecil tumbuh secara tradisional dan merupakan usaha keluarga yang
turun temurun. Keterbatasan kualitas SDM usaha kecil baik dari segi pendidikan
formal maupun pengetahuan dan keterampilannya sangat berpengaruh terhadap
manajemen pengelolaan usahanya, sehingga usaha tersebut sulit untuk berkembang
dengan optimal. Disamping itu dengan keterbatasan kualitas SDM-nya, unit usaha
tersebut relatif sulit untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk
meningkatkandaya saing produk yang dihasilkannya.
3.
Lemahnya
Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar
Usaha
kecil yang pada umumnya merupakan unit usaha keluarga, mempunyai jaringan usaha
yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang rendah, ditambah lagi
produk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas dan mempunyai kualitas yang
kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha besar yang telah mempunyai jaringan
yang sudah solid serta didukung dengan teknologi yang dapat menjangkau
internasional dan promosi yang baik.
4.
Mentalitas
Pengusaha UKM
Hal
penting yang seringkali pula terlupakan dalam setiap pembahasan mengenai UKM,
yaitu semangat entrepreneurship para pengusaha UKM itu sendiri.[17] Semangat
yang dimaksud disini, antara lain kesediaan terus berinovasi, ulet tanpa
menyerah, mau berkorban serta semangat ingin mengambil risiko.[18] Suasana
pedesaan yang menjadi latar belakang dari UKM seringkali memiliki andil juga
dalam membentuk kinerja. Sebagai contoh, ritme kerja UKM di daerah berjalan
dengan santai dan kurang aktif sehingga seringkali menjadi penyebab hilangnya
kesempatan-kesempatan yang ada.
5.
Kurangnya
Transparansi
Kurangnya
transparansi antara generasi awal pembangun UKM tersebut terhadap generasi
selanjutnya. Banyak informasi dan jaringan yang disembunyikan dan tidak
diberitahukan kepada pihak yang selanjutnya menjalankan usaha tersebut sehingga
hal ini menimbulkan kesulitan bagi generasi penerus dalam mengembangkan
usahanya.
B. Faktor Eksternal
1.
Iklim
Usaha Belum Sepenuhnya Kondusif
Upaya
pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dari tahun ke tahun selalu
dimonitor dan dievaluasi perkembangannya dalam hal kontribusinya terhadap
penciptaan produk domestik brutto (PDB), penyerapan tenaga kerja, ekspor dan
perkembangan pelaku usahanya serta keberadaan investasi usaha kecil dan
menengah melalui pembentukan modal tetap brutto (investasi).[19] Keseluruhan
indikator ekonomi makro tersebut selalu dijadikan acuan dalam penyusunan
kebijakan pemberdayaan UKM serta menjadi indikator keberhasilan pelaksanaan
kebijakan yang telah dilaksanakan pada tahun sebelumnya.[20]
Kebijaksanaan
Pemerintah untuk menumbuhkembangkan UKM, meskipun dari tahun ke tahun terus
disempurnakan, namun dirasakan belum sepenuhnya kondusif. Hal ini terlihat
antara lain masih terjadinya persaingan yang kurang sehat antara
pengusaha-pengusaha kecil dan menengah dengan pengusaha-pengusaha besar.
Kendala
lain yang dihadapi oleh UKM adalah mendapatkan perijinan untuk menjalankan
usaha mereka. Keluhan yang seringkali terdengar mengenai banyaknya prosedur
yang harus diikuti dengan biaya yang tidak murah, ditambah lagi dengan jangka
waktu yang lama. Hal ini sedikit banyak terkait dengan kebijakan perekonomian
Pemerintah yang dinilai tidak memihak pihak kecil seperti UKM tetapi lebih mengakomodir
kepentingan dari para pengusaha besar.
2. Terbatasnya Sarana dan Prasarana Usaha
Kurangnya
informasi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
menyebabkan sarana dan prasarana yang mereka miliki juga tidak cepat berkembang
dan kurang mendukung kemajuan usahanya sebagaimana yang diharapkan. Selain itu,
tak jarang UKM kesulitan dalam memperoleh tempat untuk menjalankan usahanya
yang disebabkan karena mahalnya harga sewa atau tempat yang ada kurang
strategis.
3.
Pungutan
Liar
Praktek pungutan tidak resmi atau
lebih dikenal dengan pungutan liar menjadi salah satu kendala juga bagi UKM
karena menambah pengeluaran yang tidak sedikit. Hal ini tidak hanya terjadi
sekali namun dapat berulang kali secara periodik, misalnya setiap minggu atau
setiap bulan.
4.
Implikasi
Otonomi Daerah
Dengan berlakunya Undang-undang No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan UU No. 32
Tahun 2004, kewenangan daerah mempunyai otonomi untuk mengatur dan mengurus
masyarakat setempat. Perubahan sistem ini akan mempunyai implikasi terhadap
pelaku bisnis kecil dan menengah berupa pungutan-pungutan baru yang dikenakan
pada UKM. Jika kondisi ini tidak segera dibenahi maka akan menurunkan daya
saing UKM. Disamping itu, semangat kedaerahan yang berlebihan, kadang
menciptakan kondisi yang kurang menarik bagi pengusaha luar daerah untuk
mengembangkan usahanya di daerah tersebut.
5. Implikasi Perdagangan Bebas
Sebagaimana
diketahui bahwa AFTA yang mulai berlaku Tahun 2003 dan APEC Tahun 2020
berimplikasi luas terhadap usaha kecil dan menengah untuk bersaing dalam
perdagangan bebas. Dalam hal ini, mau tidak mau UKM dituntut untuk melakukan
proses produksi dengan produktif dan efisien, serta dapat menghasilkan produk
yang sesuai dengan frekuensi pasar global dengan standar kualitas seperti isu
kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14.000), dan isu Hak Asasi Manusia
(HAM) serta isu ketenagakerjaan. Isu ini sering digunakan secara tidak fair
oleh negara maju sebagai hambatan (Non Tariff Barrier for Trade). Untuk itu,
UKM perlu mempersiapkan diri agar mampu bersaing baik secara keunggulan
komparatif maupun keunggulan kompetitif.
6.
Sifat Produk dengan Ketahanan Pendek
Sebagian besar
produk industri kecil memiliki ciri atau karakteristik sebagai produk-produk
dan kerajinan-kerajian dengan ketahanan yang pendek. Dengan kata lain,
produk-produk yang dihasilkan UKM Indonesia mudah rusak dan tidak tahan lama.
7.
Terbatasnya Akses Pasar
Terbatasnya
akses pasar akan menyebabkan produk yang dihasilkan tidak dapat dipasarkan
secara kompetitif baik di pasar nasional maupun internasional.
8.
Terbatasnya Akses Informasi
Selain akses
pembiayaan, UKM juga menemui kesulitan dalam hal akses terhadap informasi.
Minimnya informasi yang diketahui oleh UKM, sedikit banyak memberikan pengaruh
terhadap kompetisi dari produk ataupun jasa dari unit usaha UKM dengan produk
lain dalam hal kualitas. Efek dari hal ini adalah tidak mampunya produk dan
jasa sebagai hasil dari UKM untuk menembus pasar ekspor. Namun, di sisi lain,
terdapat pula produk atau jasa yang berpotensial untuk bertarung di pasar
internasional karena tidak memiliki jalur ataupun akses terhadap pasar
tersebut, pada akhirnya hanya beredar di pasar domestik.
Langkah
yang Sudah Ditempuh
Sesungguhnya pemerintah telah
banyak mengeluarkan kebijakan untuk pemberdayaan UKM, terutama lewat kredit
bersubsidi dan bantuan teknis. Kredit program untuk pengembangan UKM bahkan
dilakukan sejak 1974. Kredit program pertama UKM, Kredit Investasi Kecil (KIK)
dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), yang menyediakan kredit investasi dan
modal kerja permanen, dengan masa pelunasan hingga 10 tahun, dan suku bunga
bersubsidi.
Setelah deregulasi perbankan pada
1988, kredit UKM dengan bunga bersubsidi secara berangsur dihentikan, diganti
dengan kredit bank komersial. Selain itu, donor internasional juga menyusun
kredit program investasi bagi UKM dalam mata uang rupiah. Antara 1990 dan 2000,
Bank Indonesia mendanai berbagai kredit program dengan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia (KLBI), yang dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu Kredit
Usaha Tani (KUT), Kredit Pemilikan Rumah Sederhana/Sangat Sederhana (KPRS/SS),
dan Kredit Usaha Kecil dan Mikro yang disalurkan melalui koperasi dan bank
perkreditan rakyat. Selain itu, NPWP sebagai prasyarat pengajuan kredit di
Perbankan juga telah dihapuskan, dimana hal ini memberikan peluang dan
kesempatan yang lebih besar bagi kita untuk mengakses modal dari sisi
perbankan.
Selain peran dari Pemerintah, dunia
akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga penelitian, juga telah
melakukan beberapa kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan UKM. Salah satu
diantaranya adalah program GTZ-RED yang diadakan atas dukungan
GOPA/Swisscontact yang telah berjalan sejak tahun 2003. Program ini bergerak
langsung ke daerah-daerah dengan menggunakan metode enabling environment dengan
fokus pada Business Climate Survey (BCS) dan Regulatory Impact Assessment (RIA)
yang dilakukan oleh Technical Assisstance (TA). Tim TA ini dimotori oleh Center
for Micro and Small Enterprise Dynamics (CEMSED) Universitas Satya Wacana. Tim
ini telah melakukan survey, pelatihan, workshop terhadap UKM di daerah-daerah,
menciptakan jaringan dengan seluruh pihak terkait UKM termasuk Pemerintah
Daerah, serta membuat daftar Peraturan Daerah yang perlu untuk diperbaiki.
Langkah
yang Dapat Ditempuh
Dengan
mencermati permasalahan yang dihadapi oleh UKM dan langkah-langkah yang selama
ini telah ditempuh, maka kedepannya, perlu diupayakan hal-hal sebagai berikut:
1.
Penciptaan
Iklim Usaha yang Kondusif
Pemerintah
perlu mengupayakan terciptanya iklim yang kondusif antara lain dengan
mengusahakan ketenteraman dan keamanan berusaha serta penyederhanaan prosedur
perijinan usaha, keringanan pajak dan sebagainya.
2.
Bantuan
Permodalan
Pemerintah
perlu memperluas skema kredit khusus dengan syarat-syarat yang tidak
memberatkan bagi UKM, untuk membantu peningkatan permodalannya, baik itu
melalui sektor jasa finansial formal, sektor jasa finansial informal, skema
penjaminan, leasing dan dana modal ventura. Pembiayaan untuk UKM sebaiknya
menggunakan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang ada maupun non bank. Lembaga
Keuangan Mikro bank antara Lain: BRI unit Desa dan BankPerkreditan Rakyat
(BPR).
Sampai
saat ini, BRI memiliki sekitar 4.000 unit yang tersebar diseluruh Indonesia.
Dari kedua LKM ini sudah tercatat sebanyak 8.500 unit yang melayani UKM. Untuk
itu perlu mendorong pengembangan LKM agar dapat berjalan dengan baik, karena
selama ini LKM non koperasi memilki kesulitan dalam legitimasi operasionalnya.
3.
Perlindungan
Usaha
Jenis-jenis
usaha tertentu, terutama jenis usaha tradisional yang merupakan usaha golongan
ekonomi lemah, harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah, baik itu melalui
undang-undang maupun peraturan pemerintah yang bermuara kepada saling
menguntungkan (win-win solution).
4.
Pengembangan
Kemitraan
Perlu
dikembangkan kemitraan yang saling membantu antar UKM, atau antara UKM dengan
pengusaha besar di dalam negeri maupun di luar negeri, untuk menghindarkan
terjadinya monopoli dalam usaha. Selain itu, juga untuk memperluas pangsa pasar
dan pengelolaan bisnis yang lebih efisien. Dengan demikian, UKM akan mempunyai
kekuatan dalam bersaing dengan pelaku bisnis lainnya, baik dari dalam maupun
luar negeri.
5. Pelatihan
Pemerintah
perlu meningkatkan pelatihan bagi UKM baik dalam aspek kewiraswastaan,
manajemen, administrasi dan pengetahuan serta keterampilannya dalam
pengembangan usahanya. Selain itu, juga perlu diberi kesempatan untuk
menerapkan hasil pelatihan di lapangan untuk mempraktekkan teori melalui
pengembangan kemitraan rintisan.
6.
Membentuk
Lembaga Khusus
Perlu
dibangun suatu lembaga yang khusus bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan
semua kegiatan yang berkaitan dengan upaya penumbuhkembangan UKM dan juga
berfungsi untuk mencari solusi dalam rangka mengatasi permasalahan baik
internal maupun eksternal yang dihadapi oleh UKM.
7. Memantapkan Asosiasi
Asosiasi
yang telah ada perlu diperkuat, untuk meningkatkan perannya antara lain dalam
pengembangan jaringan informasi usaha yang sangat dibutuhkan untuk pengembangan
usaha bagi anggotanya.
8. Mengembangkan Promosi
Guna lebih mempercepat proses kemitraan
antara UKM dengan usaha besar diperlukan media khusus dalam upaya mempromosikan
produk-produk yang dihasilkan. Disamping itu, perlu juga diadakan talk show
antara asosiasi dengan mitra usahanya.
9.
Mengembangkan
Kerjasama yang Setara
Perlu adanya kerjasama atau
koordinasi yang serasi antara pemerintah dengan dunia usaha (UKM) untuk
menginventarisir berbagai isu-isu mutakhir yang terkait dengan perkembangan
usaha.
10. Mengembangkan Sarana dan Prasarana
Perlu adanya pengalokasian tempat usaha
bagi UKM di tempat-tempat yang strategis sehingga dapat menambah potensi
berkembang bagi UKM tersebut.
Pemberdayaan usaha kecil menengah
lewat inkubator bisnis
Realitas
membuktikan bahwa sejak terjadinya krisis ekonomi, sektor usaha kecil dan
menegah (UKM) mampu bertahan bahkan menjadi penyelamat perekonomian nasional.
UKM yang saat ini jumlahnya diperkirakan 40,19 juta unit usha memberi
kontribusi yang sangat signifikan terhadap Produk domestik bruto (PDB). Pada
tahun 2001 diperkirakan UKM memberi kontribusi terhadap PDB sebesar 54,74%.
Melihat
tangguhnya kiprah UKM dalam perekonomian nasional tersebut membuat lembaga
keuangan (perbankan) berlomba menyalurkan kreditnya ke sektor usaha tersebut.
Perbankan
nasional, tahun ini siap mengucurkan kredit ke UKM hingga Rp42,3 triliun atau
lebih 50% dari total nilai ekspansi kredit perbankan 2003. Sementara Departemen
Keuangan berjanji menyalurkan Rp3 triliun sedangkan Asian Development Bank
(ADB) pun siap mengucurkan pinjaman US$85 juta pada tahun 2003 dan US$150 juta
pada tahun 2004).
Namun
demikian, yang perlu dipikirkan apakah alokasi kredit UKM tersebut bisa
dimanfaatkan dengan baik oleh UKM?
Agar
fasilitas kredit UKM itu secara optimal bisa menjadi ‘alat’ emberdayaan UKM dan
sekaligus dapat menjadi lokomotif pemulihan ekonomi nasional maka bimbingan
manajerial pun harus diberikan secara memadai.
Strategi
ini perlu dilakukan mengingat masih banyak UKM yang dalam menjalankan aktivitas
bisnisnya tidak menerapkan prinsip-prinsip manajemen. Apalagi saat ini, dengan
berlakunya era Asean Free Trade Area (AFTA), tentunya usaha kecil menengah pun
dituntut untuk siap menghadapi persaingan bisnis yang semakin ketat.
Selain itu bimbingan manajerial juga perlu dilakukan sebagai upaya memperkecil risiko kredit macet akibat adanya mismanagement yang dilakukan UKM. Karena itu peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk merintis upaya tersebut.
Selain itu bimbingan manajerial juga perlu dilakukan sebagai upaya memperkecil risiko kredit macet akibat adanya mismanagement yang dilakukan UKM. Karena itu peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk merintis upaya tersebut.
Dalam
hal pemberdayaan UKM, Indonesia bisa belajar ke Cina. Keberhasilan Negeri Tirai
bambu itu dalam mengembangkan bisnis UKM tidak terlepas dari keberadaan
inkubator bisnis. Inkubator bisnis di Cina terbilang sangat berkembang dan
mendapat perhatian besar dari pemerintahnya.
Cina
memulai program inkubator bisnisnya pada 1987 dengan hanya membentuk tiga unit
inkubator tapi saat ini negara itu memiliki lebih dari 40 inkubator yang
tersebar merata hampir ke seluruh pelosok negeri.
Kiprah
ikubator tersebut tak pelak juga sukses menyumbang pajak. Pada 1994 saja
tercatat US$155 juta mampu dihasilkan oleh para tenant (UKM binaan inkubator),
padahal pada tahun tersebut pemerintah Cina hanya berinvestasi US$60 juta.
Memang, omzet tersebut tidak sepenuhnya dirasakan pemerintah tapi pemasukan pajak dari program inkubator ini akan terus dinikmati tiap tahunnya.
Dampak lain yang dapat dinikmati dengan berkembangnya inkubator bisnis di Cina adalah dengan terserapnya sejumlah tenaga kerja ke bidang tersebut. Dari data yang diperoleh, pada 1994 tercatat hampir 900 TK terangkul menjadi karyawan inkubator.
Belum lagi sekitar 10.000 orang mampu terserap dalam perusahaan yang dikelola oleh para tenant binaan inkubator tersebut.
Memang, omzet tersebut tidak sepenuhnya dirasakan pemerintah tapi pemasukan pajak dari program inkubator ini akan terus dinikmati tiap tahunnya.
Dampak lain yang dapat dinikmati dengan berkembangnya inkubator bisnis di Cina adalah dengan terserapnya sejumlah tenaga kerja ke bidang tersebut. Dari data yang diperoleh, pada 1994 tercatat hampir 900 TK terangkul menjadi karyawan inkubator.
Belum lagi sekitar 10.000 orang mampu terserap dalam perusahaan yang dikelola oleh para tenant binaan inkubator tersebut.
Inkubator
internasional Pemerintah Cina mempunyai komitmen yang tinggi terhadap
pengembangan inkubator bisnis yang terbukti memang menguntungkan banyak pihak.
Salah satu bentuk komitmen pemerintah tersebut adalah dengan melakukan
investasi untuk membangun inkubator bisnis internasional.
Mulai
1998 sampai saat ini tercatat ada delapan inkubator bisnis internasional yang
dibangun oleh pemerintah Cina. Inkubator ini merupakan lembaga di mana tenant
yang berada di dalamnya berasal dari negara lain di mana biasanya sudah
mempunyai produk tertentu yang akan dipasarkan di Cina.
Ciri
khusus dari inkubator jenis ini adalah pada perangkat fasilitas yang digunakan,
di mana hampir keseluruhan menggunakan teknologi tinggi. Pemerintah Cina
mengeluarkan investasi yang besar untuk membangun inkubator bisnisnya. Untuk
satu inkubator internasional, luas lahan yang disediakan mencapai hampir 10.000
m2 dengan nilai investasi mencapai US$1 juta-US$3 juta untuk sebuah inkubator
internasional. Selain itu dari setiap inkubator -baik skala kecil maupun
besar-selalu dikelola oleh profesional yang secara total mengelola inkubator
bersangkutan. Hingga
wajar bila tenant teladan (dari inkubator sekelas Pusat Inkubator Agrobisnis dan Agroindustri (PIAA) milik IPB) di Cina mampu meraup omzet sekitar lima miliar rupiah per tahunnya.
wajar bila tenant teladan (dari inkubator sekelas Pusat Inkubator Agrobisnis dan Agroindustri (PIAA) milik IPB) di Cina mampu meraup omzet sekitar lima miliar rupiah per tahunnya.
Di
Indonesia sendiri sebenarnya antara 1995-1998, inkubator bisnis yang dimiliki
beberapa perguruan tinggi terbilang mengalami perkembangan yang cukup baik tapi
datangnya krisis menyebabkan program ini agak meredup.
Namun
demikian, belajar dari keberhasilan Cina, adalah suatu langkah yang tepat bila
pemerintah kembali melakukan program pengembangan UKM melalui inkubator bisnis.
Di saat adanya komitmen perbankan nasional untuk memajukan UKM,
mengoptimalkan peran inkubator- inkubator bisnis yang bertebaran di berbagai penjuru tanah air adalah suatu langkah strategis.
Di saat adanya komitmen perbankan nasional untuk memajukan UKM,
mengoptimalkan peran inkubator- inkubator bisnis yang bertebaran di berbagai penjuru tanah air adalah suatu langkah strategis.
Untuk
itu pemerintah bisa menjadi ‘jembatan penghubung’ antara pihak perbankan
(terutama bank BUMN) dengan inkubator- inkubator bisnis (yang mayoritas
dimiliki perguruan tinggi negeri) agar terjalin kerja sama
Dengan
begitu nantinya, usaha kecil menengah tidak hanya mendapat bantuan modal melainkan
juga bimbingan manajerial.
Strategi Pembangunan
Sadar atau tidak, dalam era desentralisasi dan
globalisasi sekarang, setiap masyarakat di daerah menghadapi tantangan yang
berbeda dari lingkungan eksternal. Dalam kaitan ini, pemecahan masalah tidak
dapat dilakukan dengan kebijakan sama yang berlaku umum dari tingkat pusat.
Kebijakan dan strategi yang dikembangkan haruslah sesuai dengan spesifikasi
atau kondisi yang dibutuhkan oleh daerah yang bersangkutan.
Masalah daerah memerlukan solusi kedaerahan. Wewenang
yang selama ini dipengang pemerintah pusat harus diberikan kepada pemerintah
daerah untuk menangani masalah di daerahnya. Dalam kaitan ini, strategi
pembangunan daerah haruslah dilakukan dengan proses kolaborasi berbagai unsur
terkait dengan masyarakat di daerah. Kebijakan dan strategi yang dikembangakan
harus menggunakan sumberdaya lokal yang efisien, termasuk sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan sumber daya budaya. Lintas pelaku di
masyarakat harus bekerja sama untuk meningkatkan nilai sumberdaya setempat.
Untuk itu, perlu diperhatikan bahwa peran UMKM strategis
untuk menciptakan tenaga kerja, kesejahteraan dan peningkatan standar hidup
masyarakat setempat. Pertumbuhan UMKM tergantung dari kondisi lingkungan bisnis
yang dibuat sebagai usaha bersama antara UMKM, Pemerintah dan entitas
masyarakat setempat.
Adapun unsur lingkungan bisnis kondusif yang perlu
menjadi perhatian, meliputi ketersediaan modal, infrastruktur dan fasilitasnya,
ketersediaan tenaga terampil, layanan pendidikan dan pelatihan, jaringan
pengetahuan, ketersediaan layanan bisnis, lembaga lingkungan pendukung
pembangunan daerah, dan kualitas pengelolaan sektor publik.
Sebagai persyaratan agar strategi pembangunan daerah
bekerja dengan baik, maka harus ada evaluasi terhadap kekuatan dan kelemahan
masyarakat, identifikasi kesempatan bagi UMKM, pengurangan hambatan bisnis, dan
pemberian kesempatan lintas pelaku setempat untuk berpartisipasi dalam proses.
Dalam pembangunan daerah ini, strategi dan pendekatan
yang bisa dilakukan, a.l. investasi dibidang infrastruktur, penyediaan insentif
bagi investasi bisnis, mendorong pengembangan investasi baru, pengembangan
klaster, pengembangan kemitraan, pengembangan kesempatan kerja, penyediaan
layanan pelatihan dan konsultasi, pengembangan lembaga keuangan mikro,
penguatan proteksi lingkungan, pengembangan tanggung jawab sosial perusahaan,
perlindungan terhadap warisan budaya, dan pendirian lembaga pembangunan daerah.
Pemerintah Daerah
Untuk mempercepat pembangunan daerah, maka pemerintah
daerah sebagai pengambil kebijakan pembangunan harus lelalu mengintegrasikan
semua lintas pelaku, termasuk berbagai unsur dalam pemerintah daerah, bisnis,
organisasi nirlaba dan penduduk lainnya.
Lintas pelaku harus bekerjasama untuk membuat kerangka kerja
formal dan informal atau lembaga untuk mendorong interaksi dan mengatur
hubungan antar lembaga. Fleksibilitas harus menjadi kunci dari kerangka kerja
dan lembaga yang harus menyalurkan perhatian dan kepentingan yang relevan dalam
proses dan mobilisasi sumber daya masyarakat.
Percepatan pembangunan pemerintahan daerah mungkin
memerlukan pendirian suatu organisasi pengembangan khusus, yang
bertanggungjawab dalam pengordinasian seluruh lintas pelaku dan berfungsi
sebagai juru bicara rencana aksi atau platform
yang ingin dituju.
Organisasi ini harus membentuk jejaring untuk pembangunan
daerah untuk peningkatan efisiensi pengalokasian sumberdaya serta berbagai
pengetahuan dan informasi. Operasionalisasi dan pembiayaan organisasi ini harus
didukung oleh lintas pelaku daerah.
Salah satu misi utama dari pemerintah daerah adalah
menggambarkan dan mengimplementasikan seluruh strategi pembangunan. Proses ini
harus dimulai dengan penetapan tujuan yang jelas dan memahami kondisi daerah
setempat.
Entitas harus juga mempertimbangkan keberlanjutan pada
semua tahapan perencanaan dan implementasi untuk menjamin suatu lingkungan yang
sehat dan suatu kualitas hidup yang baik. Strategi yang diterapkan haruslah
dikembangkan dengan pembagian tenaga kerja antar pelaku sesuai dengan kekuatan
dan sumberdaya mereka. Sejalan dengan tren desentralisasi, peran pemerintah
daerah menjadi semakin penting dalam pembangunan. Otoritas pemerintah daerah
harus menyediakan petunjuk dan bantuan untuk efektifitas dan efisiensi
implementasi pengembangan strategi. Simplikasi dan deregulasi prosedur
birokrasi harus dilakukan untuk mengurangi biaya bisnis. Pemerintah daerah
harus menjembatani antara masyarakat dan otoritas pemerintah yang lebih tinggi.
Promosi Inovasi
Seorang wirausaha secara umum mampu memanfaatkan
kesempatan untuk pengembangan kapasitas ekonomi dan pengalokasian sumber daya
secara efektif. Sejalan dengan tren baru dalam pembangunan ekonomi, wirausaha
juga harus mampu menghadapi kompetisi dan berinovasi, menghasilkan pertumbuhan
ekonomi, pembaharuan teknologi, penciptaan lapangan kerja dan perbaikan
kesejahteraan masyarakat setempat.
Sumber daya lokal harus dimanfaatkan untuk mendorong
pengembangan bisnis dengan memfasilitasi pengusaha untuk mengakses informasi,
ilmu pengetahuan, teknologi, modal, dan sumber daya manusia yang dibutuhkan
bagi keberhasilan bisnisnya. Lebih penting lagi, otoritas daerah harus mampu
melakukan upaya penyederhanaan proses administrasi bagi usaha pemula (new business start-up).
Sistem inovasi lokal merupakan mekanisme fundamental
untuk penguatan kapasitas inovasi ditingkat lokal. Adapun aktor utama dalam
sistem ini meliputi pemerintah setempat, industri, lembaga riset dan perguruan
tinggi. Untuk penguatan operasi sistem inovasi lokal, pemerintah daerah perlu
mengembangkan kolaborasi antara industri dan perguruan tinggi dengan
menyediakan insentif untuk pengembangan usaha patungan antara pengusaha daerah
dan perguruan tinggi. Pengembangan inkubator akan meningkatkan diseminasi ilmu
pengetahuan dalam sistem inovasi.
Pembentukan klaster akan mampu merangsang penumbuhan
bisnis baru dan menarik perusahaan bisnis baru dari luar daerah, sehingga
menigkatkan output industri dan
menciptakan kesempatan kerja baru. Melalui interaksi dan berbagai sumber daya
dalam jejaring, inovasi dan perbaikan teknologi dapat ditingkatkan. Dalam
kaitan ini pemerintah daerah perlu menumbuhkan iklim usaha yang kondusif sesuai
dengan kondisi lokal untuk pengembangan industri klaster.
Pengembangan SDM.
Kebijakan tenaga kerja terkait erat dengan strategi
pengembangan ekonomi dan kebijakan stabilitas sosial. Dan keberhasilan pada
satu sisi suatu kebijakan tergantung pada keberhasilan yang lain. Unsur-unsur
interaksi mempengaruhi keberhasilan kebijakan tenaga kerja meliputi seberapa
baik kebijakan itu sejalan dengan seluruh strategi pengembangan ekonomi, yang
juga harus membangun jejaring dengan layanan organisasi ekonomi dan sosial
lain, dan bagaimana kondisi sosial dan ekonomi mempengaruhi fleksibilitas
implementasinya.
UMKM dan bisnis pemula menjadi penghela penciptaan tenaga
kerja di tingkat lokal. Penumbuhan UMKM dan bisnis pemula mempunyai andil
pending dalam penyusunan kebijakan tenaga kerja diberbagai wilayah. Agar
kebijakan UMKM dan bisnis pemula berjalan dengan baik, otoritas pemerintah
daerah harus melibatkan mereka dalam setiap proses penyusunan dan implementasi
kebijakan.
Pendirian organisasi pelatihan lokal perlu koordinasi
antar pembisnis, tega ahli, dan perguruan tinggi. Masukan dari pebisnis dapat
membantu menjamin kandungan pelatihan dapat merefleksikan keterampilan yang
sesuai dengan alam kebutuhan pasar tenaga kerja. Otoritas daerah dapat
menawarkan insentif untuk mengembangkan pelatihan keterampilan, dan mendorong
partisipasi dalam pelatihan.
Dalam era globalisasi, keterampilan yang dibutuhkan pasar
berubah cepat. Tenaga kerja harus fleksibel mampu beradaptasi dengan perubahan.
Oleh karena itu sangat penting untuk mempercepat kapasitas pekerja untuk
mempelajari keterampilan baru, dan alih keterampilan bagi industri yang lain.
Dukungan Financial
Pengembangan Usaha Mikro kecil dan Menengah (UMKM)
biasanya diiringi dengan kebutuhan modal. UMKM yang semakin berkembang,
disebabkan karena semakin besarnya pula peluang usaha yang dapat diakses.
Dalam kondisi tersebut biasanya UMKM tidak dapat
mengembangkan usahanya lebih jauh lagi, karena kurangnya dukungan dana. Di
sinilah pentingnya lembaga pemberi modal memainkan peranannya, sekaligus
melalukan pendampingan.
Sejumlah mekanisme dapat dilakukan sesuai dengan keragaman
kondisi yang dihadapi UMKM berkaitan dengan akses finansial. Untuk pembiayaan
usaha mikro biasanya memerlukan pengembangan lembaga keuangan mikro dan
ketersediaan kredit yang dapat diakses mereka.
Lembaga keuangan mikro bisa berbentuk bank atau non bank,
termasuk koperasi. Bagi usaha pemula, pengembangan jejaring lokal usaha
malaikat (Business Angels) dapat
mengatasi sebagian masalah mereka. Lembaga jaminan kredit termasuk di tingkat
lokal juga memadai untuk pasar lokal yang lebih kecil.
Tujuan pengembangan lembaga jaminan kredit untuk menjamin
keamanan pembiayaan UMKM, membantu UMKM mengatasi keterbatasan agunan,
meningkatkan minat lembaga keuangan memberikan kredit kepada UMKM dan mendukung
lembaga lain yang telah berusaha
membantu UMKM, sebab selama ini perbankan tidak kondusif dalam memberikan
pinjaman kredit, karena kredit yang mereka kucurkan selalu berdasarkan 5 C,
yakni character, capacity, capital,
condition of ecconomic, and collateral.
Akibatnya perbankan selalu menerapkan berbagai persyaratan
jaminan keamanan kredit yang disalurkannya. Apalagi mereka juga sering kali
tidak membedakan persyaratan kredit antara usaha mikro atau kecil dengan usaha
besar. Karena itulah pemerintah mendukung peran serta lembaga keuangan lain
seperti lembaga modal ventura sebagai alternatif solusi didalam pemberdayaan
UMKM.
Keunggulan modal ventura, modal ventura adalah pembiayaan
yang berbentuk penyertaan modal, pola bagi hasil, dan obligasi konversi kepada
UMKM dalam jangka waktu tertentu dengan karakteristik mempunyai tingkat resiko
atau modal yang ditanamkan karena bertindak sebagai investor.
Modal ventura merupakan investasi aktif, yakni jika
dipandang perlu melibatkan diri dalam pengelolaan usaha UMKM investasi bersifat
sementara dan mengharapkan hasil atas investasi yang ditanamkan.
Dibandingkan dengan perbankan, lembaga modal ventura
memiliki beberapa kelebihan didalam mendukung usaha mikro, kecil dan menengah
antara lain:
Pertama, lembaga modal
venturamenyediakan modal seperti halnya perbankan, tetapi dengan syarat lebih
sederhana dalam aspek formal maupun agunan karena lebih mengedepankan kelayakan
usaha.
Kedua, selain modal, pola ventura juga menyediakan
pendampingan sesuai kebutuhan UMKM, sehingga dapat berjalan lebih efektif bagi
kedua pihak. Pola pendampingan ini menjadi trdemark
ventura. Pendampingan ini dapat berbentuk pembinaan atau Pelatihan, konsultasi,
manajemen dan perluasan pasar bagi UMKM. Ini yang menyebabkan pola modal
ventura berbeda dengan perbankan. Faktor lain yang mendukung lembaga modal ventura
menjadi alternatif, adalah akses jaringan di seluruh Indonesia.
Modal Awal Pendanaan
Sejak tahun 2001, modal
ventura telah menjadi mitra kementrian Koperasi dan UMKM untuk menggulirkan
dana penguatan permodalan kepada usaha kecil, mengengah dan koperasi melalui
program modal awal pendanaan (MAP).
MAP ini merupakakan dana investasi untuk disalurkan
kepada usaha kecil, menengah dan koperasi (UMKMK) melalui lembaga modal ventura
untuk memulai atau mengembangkan bisnis UMKMK. Program MAP bertujuan melakukan
pengembangan UMKMK terutama yang bernilai tambah tinggi, menstimulasi dan
menggalang partisipasi berbagai pihak dalam pengembangan basis permodalan
UMKMK, serta merangsang pengembangan permodalan jangka panjang bagi UMKMK
melalui penyediaan dana investasi (matching
fund), dengan mekanisme pengembalian pokok dana MAP oleh UMKMK dilakukan
dengan diangsur atau sekaligus sesuai dengan jadwal investasi UMKMK yaitu
maksimal 5 tahun.
Strategi Pemasaran.
Di banyak daerah, masalah strategi pemasaran menjadi
perhatian utama, khususnya untuk produk budaya lokal. Industri budaya lokal
yang tradisional mungkin masih menggunakan metode pemasaran kadaluarsa. Ini
bisa membuat industri ini mengalami penurunan.
Tetapi, upaya mengembangkan industri budaya lokal dengan
pemasaran inovatif dan modern bisa membantu meraih kembali keuntungan pasar.
Kebijakan seperti ini dapat mencegah hilangnya nilai budaya dan sejarah karena
dampak globalisasi.
Produk dari industri budaya lokal merupakan ekspresi
budaya dan seni, yang biasanya banyak menarik bagi pembeli asing dan memiliki
potensi ekspor tinggi. Walaupun secara umum, sebagian dari industri ini adalah
usaha mikro yang kesulitan pemasaran di luar negeri.
Pengembangan e-commerce
merupakan strategi yang dapat membantu memasarkan produknya keluar negeri
dengan biaya yang murah. Sebelum itu, memperkecil kesenjangan digital perlu
dilakukan dan sekaligus pembangunan infrastruktur internet.
Untuk mengatasi keterbatasan ukuran dan sumber daya,
pembisnis budaya lokal dapat menerapkan strategi pembangunan kerjasama, seperti
kerja sama pemasaran dengan pebisnis di
industri budaya lokal dan bisnis lain yang saling menguntungkan. Para pasangan
bisnis ini dapat bekerja sama untuk membangun asosiasi atau jejaring untuk
mempromosikan produk.
Membangun Kemitraan
Pembangunan daerah sebagian besar tergantung pada
kemitraan antara pemerintah, pelaku bisnis dan lembaga non pemerintah.
Kemitraan ini memfasilitasi koordinasi dan kerja sama. Pasangan lokal
darisektor swasta dapat membantu mengekspolitasi kesempatan daerah dalam
mengembangkan kebijakan dan strategi yang sesuai dengan kebutuhan setempat.
Kunci utama dari kemitraan ini adalah mekanisme untuk
mengatur dan mengkoordinid secara benar sumber daya dan upaya-upaya yang
berbeda dari para pelaku yang berbeda.
Perencanaan dan implementasinya dilaksanakan sesuai
dengan kemampuan dan kekuatan masing-masing. Selama dalam proses ini penting
untuk diperhatikan, yakni membentuk jejaring kerjasama dan mengembangkan rasa
saling percaya.
Karena keterbatasan institusionalisasi, kemitraan untuk
pembangunan daerah kerap kurang berjalan dengan stabil. Oleh karena itu
pemerintah daerah harus memimpin di depan dalam membangun mekanisme yang lebih
stabil dan formal untuk membantu memberikan kemitraan sebagai basis pelembagaan
dan kemampuan merancang dan menerapkan rencana pengembangan.
Konsep kemitaan untuk pembangunan daerah dekat
hubungannya dengan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Sejalan dengan filosofi CSR, perusahaan
ingin mendedikasikan dirinya untuk membangun kemitraan lokal, memperkuat
kapasitas lokal, perlindungan lingkungan dan berkontribusi dana untuk
pembangunan daerah.
Kesadaran akan pentingnya CSR diantara para pebisnis
menjadi prasyarat penting untuk melibatkan para pebisnis dalam kemitraan untuk
pengembangan daerah. Membangun kesadaran ini merupakan bidang yang perlu
menjadi perhatian pemerintah daerah.
BAGIAN
IV
KESIMPULAN
Perkembangan
Usaha Menengah di Indonesia belum seperti yang kita harapkan masih banyak
kendala yang membuat perkembangannya terhambat. Dari sekian banyak factor, kita
dapat mengelompokkannya ke dalam beberapa bagian utama :
1. Kurangnya
permodalan
2. Iklim
usaha yang masih kurang menguntungkan bagi Usaha Menengah
3. Masih
kurangnya kapasitas sumber daya manusia yang berkecimpung dalam usaha menengah
Sehingga
solusi bagi semuanya tentu saja dengan:
1. Memperbaiki
sistem permodalan bagi usaha menengah. Baik melalui kredit lunak maupun bantuan
pemerintah.
2. Pemerintah
melalui otoritasnya membuat aturan sudah saatnya membuat iklim kondusif bagi
pertumbuhan dan perkembangan usaha menengah. Dengan member prioritas utama bagi
pengusaha-pengusaha dalam bidang ini.
3. Lemahnya
sumberdaya manusia dapat diatasi dengan pelatihan-pelatihan secara
berkesinambungan, baik oleh pihak swasta maupun pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Thank's gan infonya !!!!!
ReplyDeleteusaha tanpa modal